Langsung ke konten utama

Fatamorgana Kepemilikan

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”

(Al Hadiid [57] : 7)


Allah adalah pemberi rizqi, sudah jelas. Banyak yang mengira bila berdo’a meminta sesuatu dari rizqi kemudian terwujud adalah karena Allah mengabulkan do’a tersebut. Tetapi tahukah bahwa rizqi yang ada pada kita adalah menurut kehendak Allah?


“………… nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya……”



Allah yang menjadikan seseorang “memiliki” atau “tidak memiliki” harta. Hanya atas kehendak Allah seseorang mampu atau tidak mampu menguasai perbendaharaan dunia. Kefahaman terhadap ayat diatas membuat seseorang  tidak akan pernah bergembira  berlebihan saat menerima rizqi, dan terpuruk dalam kesedihan saat kehilangannya.



“ Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(Al Ankabuut [29] : 62)



Kefahaman itulah yang menimbulkan sifat qona’ah (merasa cukup) terhadap apapun yang ada padanya, sehingga timbul pengertian bahwa rizqi semata-mata pinjaman modal dalam melangkah di kehidupan dunia ini, guna memperoleh untung bagi kehidupan kelak. Sebagaimana Allah firmankan :



“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

(Al Qashash [28] : 77)



Memahami bahwa rizqi hanyalah jembatan untuk merengkuh kebahagiaan akhirat, baginya tidak akan pernah berkeberatan lahir bathin bila rizqi itu harus” berkurang” atau “hilang” selama hal itu dilakukan di jalan Allah. Karena biar bagaimanapun bila bukan rizqi yang “meninggalkannya”, maka ia sendirilah yang akan “meninggalkan” rizqi dengan proses kematiannya.



“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa`at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang lalim.”

(Al Baqarah [2] : 254)


“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?"

(Al Munaafiquun [63] : 10)



Sehingga ia berusaha memaksimalkan rizqi yang ada padanya agar mendapat tabungan akhirat yang berlipat ganda. Tidak ada sedikitpun rizqi yang sia-sia. Yang ada dalam fikir dan lakunya hanyalah bagaimana memperoleh keuntungan dari rizqi tersebut.



“ Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

(Al Baqarah [2] : 261)



Apapun yang dikeluarkan dari rizqi, apapun yang di-infaq-kan, tidak ada rasa menyesal dan “sayang”. Hatinya bebas lepas dari pengharapan akan memperoleh pujian, kebanggaan, keagungan, penghormatan, dan hal lain semacamnya. Harta baginya bagaikan air di daun talas yang dengan mudahnya meluncur, tetapi mengerti bahwa air itu akan membasahi akar dan selanjutnya akan menyegarkan pohon talas secara keseluruhan.



"..... Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan)."

(Al Baqarah [2] : 272)





Bisa saja tangannya mengenggam bergunung-gunung harta dunia, tetapi keimanan kepada Allah menundukkan hatinya tidak silau pada kemewahan dunia yang ada. Ia justru semakin taat dan tunduk patuh kepada Allah.


Bisa saja kefakiran menyelimuti hidupnya, tetapi keyaqinan kepada Allah telah menghibur dan menemani dalam setiap segi kehidupannya, sehingga justru ia semakin larut dalam lautan dzikrullah yang bergelombang dahsyat.



“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”

(Thaahaa [20] : 132)



Apapun keadaannya, ia tidak pernah  merasa benar-benar menggenggam dunia atau tercampak dari dunia. Semua hanyalah milik Allah, tidak ada setitikpun miliknya. Bahkan dirinya pun milik Allah. Allah pemilik sejati segalanya, termasuk rizqi yang sampai pada manusia.



“Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)."

(Ali Imran [3] : 27)


“Kepunyaan Allah lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allah lah dikembalikan segala urusan.”

(Ali Imran [3] : 109)


“Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).”

(An Nuur [24] : 42)



Sampai titik ini, penyerahan diri total kepada Allah bukan lagi menjadi hal yang mustahil. Tidak ada keterpaksaan dan tidak ada kesusahan. Rizqi yang ada menjadi bahan bakar bagi gairah yang menggelora membuatnya larut dan lebur dalam kenikmatan memuji ke-Maha Suci-an Pemilik alam semesta ini.



“Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.”

(Al Baqarah [2] : 107)


“Mereka (orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.”

(Al Baqarah [2] : 116)


“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

(Al Baqarah [2] : 284)



Lalu bagaimana bisa mengaku telah melakukan pengorbanan dari harta, setelah mengetahui bahwa itu semata-mata hanyalah milik Allah yang dititipkan kepada kita?




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafakur Liar Seorang Pensyi'ar

Setiap orang mempunyai tujuan terhadap apa yang dilakukannya. Ia selalu berharap apa yang dilakukannya dapat menuai hasil. Begitupun sebagai seorang manusia yang percaya kepada fana-nya kehidupan dunia, maka ia akan berbuat untuk mendapatkan hasil untuk kekalnya hidup di akhirat. Termasuk di dalamnya kehidupan seorang pensyi’ar ilmu Allah. Ia berharap ilmu yang disyi’arkannya menjadi pendulang amal ibadah baginya sebagai bekal kehidupan akhirat. Hal itu akan terwujud selama orang-orang yang telah menerima syi’ar ilmu itu, memahami dan melaksanakan apa-apa yang telah disampaikan dalam ilmu itu. Untuk itu perlu ketaatan dalam pelaksanaannya dikarenakan untuk menggapai kefahaman diperlukan proses. Agar proses itu berjalan, maka seorang pensyi’ar harus mengolah taktik dan strategi syi’arnya dalam bentuk program-program yang terencana agar ilmu yang disyi’arkannya tersampaikan dengan utuh. Hal yang sangat berbahaya bila ilmu yang disampaikan tidak difahami dengan utuh, yaitu berupa...

Memperlihatkan Dalam Beribadah

Ibadah sudah seharusnya diperlihatkan, dipertontonkan, dan dipertunjukkan. Sehingga dapat dipastikan bahwa kita sedang ibadah.Dengan ditunjukkannya ibadah kita, maka akan menaikkan kualitas dari nilai ibadah tersebut. Sudah saatnya bagi kita semua untuk memperlihatkan dan menunjukkan pelaksanaan ibadah agar disebut orang yang taat dan bertaqwa. Dimulai dari akan beribadah, sudah harus diniatkan untuk memperlihatkannya. Pada saat melakukannya, berusahalah apa yang kita lakukan dilihat. Lakukan secermat-cermatnya hingga semua proses ibadah itu diperhatikan. Setelah selesai, nyatakan sekuat-kuatnya bahwa kita selesai beribadah. Perlihatkan ibadah kita....... ....... Perlihatkanlah kepada ALLAH SWT. Hanya kepada ALLAH. Berusahalah untuk menunjukkan, memperlihatkan, mempertontonkan ibadah kita kepada ALLAH. Tunjukkan yang terbaik yang bisa kita lakukan pada saat beribadah. Tunjukkan bahwa tidak ada aktifitas lain yang kita lakukan, tidak ada tujuan yang kita maksudkan, tiada keinginan lain ...

HADITS 36 – JANGAN MEMPERSULIT URUSAN ORANG LAIN

Hadits Arba'in An Nawawi Terjemah hadits : Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dari Rasulullah SAW bersabda : Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim Allah akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hambanya selama hambanya menolong saudaranya. Siapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, akan Allah mudahkan baginya jalan ke syurga. Sebuah kaum yang berkumpul di salah satu rumah Allah membaca kitab-kitab Allah dan mempelajarinya diantara mereka, niscaya akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan dilimpahkan kepada mereka rahmat, dan mereka dikelilingi malaikat serta Allah sebut-sebut mereka kepada makhluk disisi-Nya. Dan siapa yang lambat amalnya, hal itu tidak akan di...