Kisah dan Hikmah
Khalifah Al-Makmun memang kurang disukai oleh rakyatnya. Banyak ulama dan orang shalih yang memusuhinya. Bahkan sejarah mencatat beberapa noda hitam dalam masa pemerintahannya.
Oleh sebab itu, seringkali mimbar-mimbar agama dimanfaatkan oleh para mubaligh untuk menyerukan masyarakat agar lebih bersungguh-sungguh melawan kemungkaran dan kezaliman para penguasa. Namun sejauh itu, tidak ada yang berani secara terang-terangan mengutuknya.
Pada suatu Jumat, Khalifah Al-Makmun mengunjungi Bashrah. Ia ikut sholat di masjid agung kota kelahiran Imam Hasan Al-Bashri itu. Tiba-tiba sang khatib dalam khutbahnya menyebut namanya dengan nada tidak sopan dan membongkar serta menuduh keculasan-keculasan secara kasar. Khalifah mengelus dada. Siapa tahu khatib itu cuma terbawa emosi akibat hawa panas yang sedang menyengat seluruh negeri?
Pada saat yang lain, ketika Khalifah menjalankan sholat Jumat di mesjid yang berbeda, kebetulan khatibnya sama seperti pada waktu ia sholat di masjid agung Bashrah. Dan khatib itu mengulangi kembali makian serta kutukan-kutukannya kepada Al-Makmun. Di antaranya sang khatib berdoa, "Mudah-mudahan Khalifah yang sewenang-wenang ini dilaknat oleh Allah s.w.t."
Maka habislah kesabaran Al-Makmun. Khatib itu diperintahkan untuk datang menghadap ke istana. Setengah dipaksa, khatib tersebut akhirnya mau juga mengunjungi Khalifah. Kepada khatib yang keras itu Al-Makmun bertanya, "Kira-kira, manakah yang lebih baik, Tuan atau Nabi Musa?"
Tanpa berfikir lagi, sang khatib yang galak itu menjawab, "Sudah tentu Nabi Musa lebih baik daripada saya. Tuan pun sudah tahu bukan?"
"Ya,ya. Saya fikir begitu," sahut Al-Makmun. "lalu, siapakah menurut pendapat Tuan yang lebih jahat, saya atau Firaun?"
Disini sang khatib terperangah. Ia sudah bisa menduga kemana tujuan pertanyaan itu. Namun ia harus menjawab sejujurnya. Maka ia lantas berkata, "Pada hemat saya, Firaun masih lebih jahat daripada Tuan."
Al-Makmun kemudian menegur, "Maaf, Tuan. Seingat saya, bagaimana pun jahatnya Firaun, sampai ia mengaku tuhan, dan bertindak kejam kepada umat Nabi Musa, tetap Allah memerintahkan kepada Nabi Musa untuk berkata dengan lemah lembut kepada si zalim itu. Tolong dapatkah Tuan membacakannya untuk saya perintah Allah yang dimuat dalam Al-Quran tersebut?"
Tergagap-gagap sang khatib membacakan surah Thoha ayat 43-44 yang artinya: "Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut".
Khalifah Al-Makmun tersenyum sebelum dengan tegas bertitah," Sebab itu, pantaskah kalau saya meminta Tuan untuk menegur saya dengan bahasa yang lebih sopan dan sikap yang lebih bertata krama? Lantaran Tuan tidak sebaik Nabi Musa dan saya tidak sejahat Firaun? " Khatib tersebut tidak dapat menjawab sepatah kata pun. Sejak itu ia berkhutbah dengan nada yang berubah dan isi yang lebih menyentuh. Terbukti, dengan cara itu, makin banyak masyarakat yang terpikat dengan pengajaran-pengajarannya, lalu berbalik arah dari dunia hitam yang penuh maksiat, untuk bertaubat melaksanakan ibadah yang lebih taat.
Melalui mimbar-mimbarnya, ia sudah berani lantang mengutip surah An-Nahl ayat 125 yang berbunyi : "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[*] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."
[*] Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
Maka pantaslah apabila Sayidina Ali bin Abi Thalib pernah berpesan, "Lihatlah apa yang dikatakan, dan jangan melihat siapa yang mengatakan."
Khalifah Al-Makmun memang kurang disukai oleh rakyatnya. Banyak ulama dan orang shalih yang memusuhinya. Bahkan sejarah mencatat beberapa noda hitam dalam masa pemerintahannya.
Oleh sebab itu, seringkali mimbar-mimbar agama dimanfaatkan oleh para mubaligh untuk menyerukan masyarakat agar lebih bersungguh-sungguh melawan kemungkaran dan kezaliman para penguasa. Namun sejauh itu, tidak ada yang berani secara terang-terangan mengutuknya.
Pada suatu Jumat, Khalifah Al-Makmun mengunjungi Bashrah. Ia ikut sholat di masjid agung kota kelahiran Imam Hasan Al-Bashri itu. Tiba-tiba sang khatib dalam khutbahnya menyebut namanya dengan nada tidak sopan dan membongkar serta menuduh keculasan-keculasan secara kasar. Khalifah mengelus dada. Siapa tahu khatib itu cuma terbawa emosi akibat hawa panas yang sedang menyengat seluruh negeri?
Pada saat yang lain, ketika Khalifah menjalankan sholat Jumat di mesjid yang berbeda, kebetulan khatibnya sama seperti pada waktu ia sholat di masjid agung Bashrah. Dan khatib itu mengulangi kembali makian serta kutukan-kutukannya kepada Al-Makmun. Di antaranya sang khatib berdoa, "Mudah-mudahan Khalifah yang sewenang-wenang ini dilaknat oleh Allah s.w.t."
Maka habislah kesabaran Al-Makmun. Khatib itu diperintahkan untuk datang menghadap ke istana. Setengah dipaksa, khatib tersebut akhirnya mau juga mengunjungi Khalifah. Kepada khatib yang keras itu Al-Makmun bertanya, "Kira-kira, manakah yang lebih baik, Tuan atau Nabi Musa?"
Tanpa berfikir lagi, sang khatib yang galak itu menjawab, "Sudah tentu Nabi Musa lebih baik daripada saya. Tuan pun sudah tahu bukan?"
"Ya,ya. Saya fikir begitu," sahut Al-Makmun. "lalu, siapakah menurut pendapat Tuan yang lebih jahat, saya atau Firaun?"
Disini sang khatib terperangah. Ia sudah bisa menduga kemana tujuan pertanyaan itu. Namun ia harus menjawab sejujurnya. Maka ia lantas berkata, "Pada hemat saya, Firaun masih lebih jahat daripada Tuan."
Al-Makmun kemudian menegur, "Maaf, Tuan. Seingat saya, bagaimana pun jahatnya Firaun, sampai ia mengaku tuhan, dan bertindak kejam kepada umat Nabi Musa, tetap Allah memerintahkan kepada Nabi Musa untuk berkata dengan lemah lembut kepada si zalim itu. Tolong dapatkah Tuan membacakannya untuk saya perintah Allah yang dimuat dalam Al-Quran tersebut?"
Tergagap-gagap sang khatib membacakan surah Thoha ayat 43-44 yang artinya: "Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut".
Khalifah Al-Makmun tersenyum sebelum dengan tegas bertitah," Sebab itu, pantaskah kalau saya meminta Tuan untuk menegur saya dengan bahasa yang lebih sopan dan sikap yang lebih bertata krama? Lantaran Tuan tidak sebaik Nabi Musa dan saya tidak sejahat Firaun? " Khatib tersebut tidak dapat menjawab sepatah kata pun. Sejak itu ia berkhutbah dengan nada yang berubah dan isi yang lebih menyentuh. Terbukti, dengan cara itu, makin banyak masyarakat yang terpikat dengan pengajaran-pengajarannya, lalu berbalik arah dari dunia hitam yang penuh maksiat, untuk bertaubat melaksanakan ibadah yang lebih taat.
Melalui mimbar-mimbarnya, ia sudah berani lantang mengutip surah An-Nahl ayat 125 yang berbunyi : "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[*] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."
[*] Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
Maka pantaslah apabila Sayidina Ali bin Abi Thalib pernah berpesan, "Lihatlah apa yang dikatakan, dan jangan melihat siapa yang mengatakan."
Komentar
Posting Komentar