“Kenapa sih senyum termasuk ibadah, pak?” tanya anakku.
Degggg!!!!!!!!! Gada kebodohan menghantam hatiku. Galau melimbahi perasaanku. Seketika hilang keyakinanku akan apa yang sudah aku lakukan.
Anakku yang baru kelas 4 SD, menanyakan sesuatu yang tidak pernah aku sangka, bahkan duga. Pertanyaan yang sepele, tetapi seperti gelegak magma yang menghancurkan dinding-dinding keyakinan hatiku.
Senyum adalah hal yang biasa aku lakukan, tetapi hempasan pertanyaan itu seperti melemparkanku pada palung kehampaan yang disusul oleh deburan-deburan pertanyaan ”Apakah selama ini senyum yang biasa kulakukan termasuk ibadah?”
Apakah senyum yang aku lemparkan pada sahabatku adalah senyum yang bukan dikarenakan aku mengharapkan pertolongan darinya pada saat aku susah?
Apakah senyum yang aku lemparkan pada orang kaya adalah senyum yang bukan karena ketertundukanku pada harta mereka?
Apakah senyum yang aku lemparkan pada orang miskin adalah senyum yang bukan karena merasa mempunyai harta berlebih?
Apakah senyum yang aku lemparkan pada atasanku di kantor adalah senyum yang bukan karena takut dicopot dari jabatanku?
Apakah senyum yang aku lemparkan pada bawahanku di kantor adalah senyum yang bukan karena kebanggaan bisa menguasai mereka?
Apakah senyum yang aku lemparkan pada orang yang sedang berbahagia adalah senyum yang bukan berisi keinginan agar diikutsertakan dalam kebahagiaan itu?
Apakah senyum yang aku lemparkan pada orang yang sedang kesusahan adalah senyum yang bukan alakadarnya agar disebut perhatian, pengertian, sambil berkata bahwa aku pernah mengalami hal yang sama bahkan lebih susah darinya?
Ya, Robb...............
Inikah rasanya jadi orang lalai? Orang yang bahkan tidak mengetahui untuk apa tersenyum? Orang yang tidak faham mengapa harus tersenyum?
Haruskah aku jawab pertanyaan anakku ini dengan segudang teori-teori dan dogma-dogma yang pernah aku pelajari? Walaupun sebenarnya aku sendiripun tidak mengetahui dimana seharusnya kulandaskan teori-teori tersebut dalam hatiku. Walaupun aku tidak faham dimana seharusnya kulabuhkan dogma-dogma tersebut dalam jiwaku.
Masih pantaskah aku menjawab pertanyaan anakku ini?
Lalu apa yang harus aku katakan untuk menjawab pertanyaan ini?
Degggg!!!!!!!!! Gada kebodohan menghantam hatiku. Galau melimbahi perasaanku. Seketika hilang keyakinanku akan apa yang sudah aku lakukan.
Anakku yang baru kelas 4 SD, menanyakan sesuatu yang tidak pernah aku sangka, bahkan duga. Pertanyaan yang sepele, tetapi seperti gelegak magma yang menghancurkan dinding-dinding keyakinan hatiku.
Senyum adalah hal yang biasa aku lakukan, tetapi hempasan pertanyaan itu seperti melemparkanku pada palung kehampaan yang disusul oleh deburan-deburan pertanyaan ”Apakah selama ini senyum yang biasa kulakukan termasuk ibadah?”
Apakah senyum yang aku lemparkan pada sahabatku adalah senyum yang bukan dikarenakan aku mengharapkan pertolongan darinya pada saat aku susah?
Apakah senyum yang aku lemparkan pada orang kaya adalah senyum yang bukan karena ketertundukanku pada harta mereka?
Apakah senyum yang aku lemparkan pada orang miskin adalah senyum yang bukan karena merasa mempunyai harta berlebih?
Apakah senyum yang aku lemparkan pada atasanku di kantor adalah senyum yang bukan karena takut dicopot dari jabatanku?
Apakah senyum yang aku lemparkan pada bawahanku di kantor adalah senyum yang bukan karena kebanggaan bisa menguasai mereka?
Apakah senyum yang aku lemparkan pada orang yang sedang berbahagia adalah senyum yang bukan berisi keinginan agar diikutsertakan dalam kebahagiaan itu?
Apakah senyum yang aku lemparkan pada orang yang sedang kesusahan adalah senyum yang bukan alakadarnya agar disebut perhatian, pengertian, sambil berkata bahwa aku pernah mengalami hal yang sama bahkan lebih susah darinya?
Ya, Robb...............
Inikah rasanya jadi orang lalai? Orang yang bahkan tidak mengetahui untuk apa tersenyum? Orang yang tidak faham mengapa harus tersenyum?
Haruskah aku jawab pertanyaan anakku ini dengan segudang teori-teori dan dogma-dogma yang pernah aku pelajari? Walaupun sebenarnya aku sendiripun tidak mengetahui dimana seharusnya kulandaskan teori-teori tersebut dalam hatiku. Walaupun aku tidak faham dimana seharusnya kulabuhkan dogma-dogma tersebut dalam jiwaku.
Masih pantaskah aku menjawab pertanyaan anakku ini?
Lalu apa yang harus aku katakan untuk menjawab pertanyaan ini?
astaghfirullahal'azhim
BalasHapus