Pak Pandai adalah julukannya. Sebenarnya ia adalah seorang guru, syaikh, atau sebutan lainnya, pada sebuah pesantren miliknya.
Ketika sedang asyik memperhatikan kegiatan santri-santrinya sambil menghisap rokok kegemarannya, seorang santri menghampirinya dan bertanya:
“Guru, bukankan dalam banyak mazhab fiqh menetapkan bahwa merokok itu haram hukumnya?”
“Benar. Tetapi sebagian ulama masih menyatakan bahwa hukumnya makruh”, jawab Pak Pandai santai.
“Dalam satu kesempatan, guru pernah menyatakan bahwa salah satu akar kata dari makruh adalah karahah, yang artinya terpaksa.”
“Apa keadaan yang memaksa kita, sehingga kita diperbolehkan merokok?”
“Ya, dalam hal ini kita cukup mengambil arti umum dari makruh”, jawab Pak Pandai.
“Maksudnya apa, guru?”
“Seperti yang telah umum diketahui bahwa makruh adalah apabila dilaksanakan tidak mengapa, apabila ditinggalkan dapat pahala.”
“Bukankah lebih baik kita dapat pahala?” tanya santri itu dengan cepat.
“Tetapi khan tidak mengapa apabila dilakukan”, jawab Pak Pandai dengan cepat pula.
“Tidak mengapa apabila dilakukan, tetapi khan kita tidak dapat pahala dari perbuatan itu, guru. Berarti apa yang telah kita perbuat adalah sia-sia, tidak bernilai, mubadzir waktu.”
“Bukankah haram menyia-nyiakan waktu, guru? Bukankah kita nanti termasuk orang yang merugi?”
“Jangan dihubung-hubungkan begitu. Selama dibolehkan, tidak mengapa kita lakukan” jawab Pak Pandai.
“Berarti saya boleh merokok, guru?” tanya santrinya.
“Tidak boleh! Haram!”
“Mengapa, guru?”
“Kamu belum jadi seorang guru!” jawab Pak Pandai sambil mematikan rokoknya dan segera pergi meninggalkan santrinya yang kebingungan.
Ketika sedang asyik memperhatikan kegiatan santri-santrinya sambil menghisap rokok kegemarannya, seorang santri menghampirinya dan bertanya:
“Guru, bukankan dalam banyak mazhab fiqh menetapkan bahwa merokok itu haram hukumnya?”
“Benar. Tetapi sebagian ulama masih menyatakan bahwa hukumnya makruh”, jawab Pak Pandai santai.
“Dalam satu kesempatan, guru pernah menyatakan bahwa salah satu akar kata dari makruh adalah karahah, yang artinya terpaksa.”
“Apa keadaan yang memaksa kita, sehingga kita diperbolehkan merokok?”
“Ya, dalam hal ini kita cukup mengambil arti umum dari makruh”, jawab Pak Pandai.
“Maksudnya apa, guru?”
“Seperti yang telah umum diketahui bahwa makruh adalah apabila dilaksanakan tidak mengapa, apabila ditinggalkan dapat pahala.”
“Bukankah lebih baik kita dapat pahala?” tanya santri itu dengan cepat.
“Tetapi khan tidak mengapa apabila dilakukan”, jawab Pak Pandai dengan cepat pula.
“Tidak mengapa apabila dilakukan, tetapi khan kita tidak dapat pahala dari perbuatan itu, guru. Berarti apa yang telah kita perbuat adalah sia-sia, tidak bernilai, mubadzir waktu.”
“Bukankah haram menyia-nyiakan waktu, guru? Bukankah kita nanti termasuk orang yang merugi?”
“Jangan dihubung-hubungkan begitu. Selama dibolehkan, tidak mengapa kita lakukan” jawab Pak Pandai.
“Berarti saya boleh merokok, guru?” tanya santrinya.
“Tidak boleh! Haram!”
“Mengapa, guru?”
“Kamu belum jadi seorang guru!” jawab Pak Pandai sambil mematikan rokoknya dan segera pergi meninggalkan santrinya yang kebingungan.
Komentar
Posting Komentar