Dengan dalih kebebasan, kini banyak orang melakukan pembenaran dari apa yang dilakukan. Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi kata yang sangat ajaib, yang bisa jadi kata yang ditakuti, -juga digunakan untuk menakuti-, oleh sebagian orang. Kebebasan berekspresi, berkarya, seni, berbicara, menyiarkan atau mendapatkan kabar/ berita, berpendapat, dan lain lain. Apabila diingatkan kepada mereka, agar melakukannya dengan melihat batasan-batasan yang ada, maka akan terjadi sebuah koor yang diteriakkan dengan sekeras-kerasnya, MELANGGAR HAM!!!
Pihak yang berseberangan dengan mereka pun tidak tinggal diam. Dilakukan upaya-upaya ‘counter’ berupa penjelasan, penerangan, jawaban, dan hal lainnya. Maka terjadilah perdebatan, percekcokan, perpecahan dalam tubuh bangsa ini. Demo dibalas demo, spanduk dibalas spanduk, cercaan serta cacian dibalas dengan hal serupa. Akhirnya adu fisik pun terkadang tak terhindarkan. Endingnya, kambing hitam harus dicari. Hasil akhirnya, kebenaran dan kebatilan menjadi bias, bercampur aduk membentuk kelamnya permusuhan sesama saudara.
Kalau saja berpegang pada rumus yang berlaku, bahwa tidak ada yang disebut kebebasan absolute, maka hal itu tidak perlu terjadi. Berbicara masalah hak, semua manusia mempunyai hak. Harus diingat, diluar pagar rumah kita, ada pagar orang lain. Silakan saja lakukan semaunya selama dalam pagar sendiri, jangan paksa orang di luar pagar untuk melakukan hal yang sama. Hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain. Bahkan di dalam pagar pun ada batas-batas seseorang melakukan haknya, dimana ada peraturan tertentu yang disepakati oleh unsur atau anggota didalamnya.
Sebagian orang menyatakan bahwa merokok itu adalah haknya, tetapi orang lain pun berhak untuk tidak menghirup bau, asap, dan racun yang dihembuskan oleh perokok. Mendengarkan musik atau lagu kesukaan adalah hak masing-masing orang, di lain fihak ketenangan dan kenyamanan juga merupakan hak manusia untuk tidak mendengar suara yang memekakkan. Boleh saja seseorang berekspresi, berkarya seni, berbicara, menyampaikan pendapat, tetapi orang lain pun berhak untuk tidak dihina, dilecehkan.
Bisa saja di negara ini seorang wanita berbusana dengan kain yang cekak, tetapi jangan sekali-sekali memaksa, terlebih melecehkan apalagi menghina wanita yang mempunyai cukup uang untuk membeli busana dengan kain yang dapat menutup auratnya.
Dalam kehidupan rumah tangga juga begitu. Makanya ada pernikahan karena adanya perbedaan antara pria dan wanita. Jadi tidak perlu teriak-teriak persamaan gender. Sudah dari Yang Maha Pencipta, gender manusia itu berbeda. Tidak mungkin akan terikat kuat, apabila mur dan baut berbentuk dan berperilaku sama. Tidak dapat menjahit apabila jarum dan benang berebutan ingin sama. Tidak mungkin akan dapat maju, apabila kedua pedal sepeda selalu ingin di depan. Sudah seharusnya, pria dan wanita saling memahami posisi dan tugas masing-masing sesuai kadarnya. Ada saatnya suami berada didepan, dan saat lainnya justru sang istrilah yang harus di depan. Apabila ada hal yang tidak sesuai, seperti KDRT, atau lainnya, itu adalah kasus yang harus diselesaikan, yang mana hal itu dapat terjadi dimana saja, di lingkungan manapun, tidak perduli akan tingkat sosial sekalipun. Tidak perlu merembet kepada menyalahkan satu kelompok, bahkan satu agama.
So, jangan kaget dengan pilihan hidup yang berbeda dengan kita. Lakukan hak kita disertai kewajiban untuk menjaga agar tidak melanggar hak orang lain. Lakukan kebebasan sesuai dengan takaran yang seharusnya, agar tidak ‘kebeblasan’ alias kebebasan yang kebablasan.
WALLAHU A’LAM
Pihak yang berseberangan dengan mereka pun tidak tinggal diam. Dilakukan upaya-upaya ‘counter’ berupa penjelasan, penerangan, jawaban, dan hal lainnya. Maka terjadilah perdebatan, percekcokan, perpecahan dalam tubuh bangsa ini. Demo dibalas demo, spanduk dibalas spanduk, cercaan serta cacian dibalas dengan hal serupa. Akhirnya adu fisik pun terkadang tak terhindarkan. Endingnya, kambing hitam harus dicari. Hasil akhirnya, kebenaran dan kebatilan menjadi bias, bercampur aduk membentuk kelamnya permusuhan sesama saudara.
Kalau saja berpegang pada rumus yang berlaku, bahwa tidak ada yang disebut kebebasan absolute, maka hal itu tidak perlu terjadi. Berbicara masalah hak, semua manusia mempunyai hak. Harus diingat, diluar pagar rumah kita, ada pagar orang lain. Silakan saja lakukan semaunya selama dalam pagar sendiri, jangan paksa orang di luar pagar untuk melakukan hal yang sama. Hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain. Bahkan di dalam pagar pun ada batas-batas seseorang melakukan haknya, dimana ada peraturan tertentu yang disepakati oleh unsur atau anggota didalamnya.
Sebagian orang menyatakan bahwa merokok itu adalah haknya, tetapi orang lain pun berhak untuk tidak menghirup bau, asap, dan racun yang dihembuskan oleh perokok. Mendengarkan musik atau lagu kesukaan adalah hak masing-masing orang, di lain fihak ketenangan dan kenyamanan juga merupakan hak manusia untuk tidak mendengar suara yang memekakkan. Boleh saja seseorang berekspresi, berkarya seni, berbicara, menyampaikan pendapat, tetapi orang lain pun berhak untuk tidak dihina, dilecehkan.
Bisa saja di negara ini seorang wanita berbusana dengan kain yang cekak, tetapi jangan sekali-sekali memaksa, terlebih melecehkan apalagi menghina wanita yang mempunyai cukup uang untuk membeli busana dengan kain yang dapat menutup auratnya.
Dalam kehidupan rumah tangga juga begitu. Makanya ada pernikahan karena adanya perbedaan antara pria dan wanita. Jadi tidak perlu teriak-teriak persamaan gender. Sudah dari Yang Maha Pencipta, gender manusia itu berbeda. Tidak mungkin akan terikat kuat, apabila mur dan baut berbentuk dan berperilaku sama. Tidak dapat menjahit apabila jarum dan benang berebutan ingin sama. Tidak mungkin akan dapat maju, apabila kedua pedal sepeda selalu ingin di depan. Sudah seharusnya, pria dan wanita saling memahami posisi dan tugas masing-masing sesuai kadarnya. Ada saatnya suami berada didepan, dan saat lainnya justru sang istrilah yang harus di depan. Apabila ada hal yang tidak sesuai, seperti KDRT, atau lainnya, itu adalah kasus yang harus diselesaikan, yang mana hal itu dapat terjadi dimana saja, di lingkungan manapun, tidak perduli akan tingkat sosial sekalipun. Tidak perlu merembet kepada menyalahkan satu kelompok, bahkan satu agama.
So, jangan kaget dengan pilihan hidup yang berbeda dengan kita. Lakukan hak kita disertai kewajiban untuk menjaga agar tidak melanggar hak orang lain. Lakukan kebebasan sesuai dengan takaran yang seharusnya, agar tidak ‘kebeblasan’ alias kebebasan yang kebablasan.
WALLAHU A’LAM
namanya juga demokrasi... habis demo ya pake yang keras la.... he he he.... kayaknya kita memang belum siap.. masih euphoria... terkejut lantas dimanfaatkan.... kalo back to basic : Al Qur'an dan Sunnah Nabi... pasti gak bakalan kebablasan...
BalasHapus