Berikut ini adalah pertanyaan dari seorang pembaca situs Eramuslim kepada Ustadz Ahmad Sarwat LC
Kamis, 16
Peb 06 14:22 WIB
Assalamu'alaikum
Wr Wb
Pak
Ustadz, Sejak kecil saya diajarkan tentang Rukun Iman dan urutannya yang telah
fixed. Tapi baru sekarang saya sadar, bahwa sampai sekarang saya tidak pernah
menanyakan asal muasalnya.. Apakah ada urutan rukun iman itu di Al-Quran atau
mungkin di hadist Rasul? Jika ada, bisakah bapak menjelaskan darimana referensi
tersebut..
Terus
terang, saya pribadi kurang yakin dengan hadist-hadist Rasul yang beredar
sekarang, karena kita sama sekali tidak tahu keabsahannya. Bisa saja
orang-orang kafir menciptakan cerita-cerita dan mengatakan bahwa itu adalah
hadis yang dapat dipercaya. Terima kasih atas perhatiannya.
Wass Wr
Wb
Jawaban
Assalamu
alaikum wrahmatullahi wabarakatuh,
Rukun
iman yang enam itu secara lengkap terdapat di dalam sebuah hadits yang amat
terkenal dan juga shahih. Keshahihannya tidak diragukan lagi oleh para ulama.
Bahkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menempatkannya dalam urutan pertama dalam
susunan hadits arba'in (40 hadits utama).
Salah
satu petikannya adalah:“Iman adalah percaya kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan
kepada Qadar baik dan buruk-Nya dari Allah taala. (HR. Muttafaq 'alaihi)
Mengapa
Ragu?
Sebenarnya
anda tidak perlu ragu-ragu dengan hadits nabawi yang beredar sekarang maupun di
masa lalu. Sebab sejak fajar Islam menyingsing di masa lalu, Allah sudah
menjamin keaslian agama ini dari kemungkinan dipalsukan oleh orang-orang yang
tidak bertanggung-jawab. Shahih tidaknya suatu hadits bisa dengan mudah kita
lihat dari perawinya. Lagi pula kita masih punya banyak ulama hadits, yang bisa
dengan mudah kita tanya dan minta penjelasan tentang keshahihan suatu hadits.
Khususnya
dalam pemeliharaan keaslian sunnah nabawiyah, Allah SWT berkenan membangkitkan
dari putera-putera Islam, orang-orang yang menjadi pemelihara, pembela dan
pelindungnya. Mereka telah melakukan penelusuran riwayat tiap-tiap hadits
nabawi yang ada. Bahkan mereka berhasil mendirikan sebuah disiplin ilmu mandiri
yang kita kenal dengan ilmu riwayat.
Ilmu
seperti ini tidak pernah ditemukan sebelumnya dan sesudahnya, bahkan di luar
dunia Islam sekalipun. Bayangkan, bagaimana di masa itu dengan media informasi
yang terbatas, para ulama mengadakan tour abadi untuk mengejar keshahihan
sebuah hadits, dari satu negeri ke negeri yang lain. Dengan menggunakan
metodologi yang nyaris tidak pernah terpikirkan oleh ilmuwan dari dunia barat.
Intinya,
mereka menggunakan dua parameter.
Pertama, dengan melihat kondisi ke-dhabit-an
perawi. Ini untuk memastikan apakah seorang yang meriwayatkan sebuah hadits
memang seorang yang punya kemampuan untuk menghafal hadits yang disampaikannya
itu dengan benar, baik pada matan (redaksi) maupun pada jalur (sanad)
periwayatannya. Adakah seorang perawi memenuhi segala macam persyaratan yang
sangat berat itu.
Dari
sini akan ketahuan apakah riwayat suatu hadits benar-benar bisa
dipertanggung-jawabkan kebenarannya atau tidak. Bila perawi ketahuan sebagai
orang yang kurang hafalannya, atau tidak mampu menyebutkan jalur periwayatannya
secara pasti, maka haditsnya itu akan dibuang ke tempat sampah.
Apalagi
bila sampai ketahuan bahwa hadits itu tidak punya asal-usul, alias hadits
palsu. Tentu dengan mudah akan segera ketahuan.
Kedua, paramater yang digunakan adalah
sisi 'adaalatur-rawi, yaitu penilaian terhadap pribadi si perawi.
Benarkah dirinya seorang muslim yang serius menjalankan agama atau tidak? Yang
dinilai adalah aspek aqidah, syariah dan akhlaq si perawi. Bahkan termasuk muru'ah
yang sering dianggap agak sepele, ternyata turut dijadikan ukuran
keshahihan suatu hadits.
Seringkali
disebutkan bahwa bila seorang perawi punya akhlaq yang kurang baik, atau
mengerjakan hal-hal yang mengurangi muru'ah-nya, maka nilainya akan
dikurangi secara sangat signifikan.
Para perawi itu dari level terakhir hingga ke level pertama,
yaitu di tingkat shahabat sebelum sampai kepada Rasulullah SAW, lalu didata dan
ditabulasi sedemikian rupa dalam ratusan kitab terkenal. Kondisi hafalan mereka,
kemampuan mereka dalam menyimpan, bahkan sifat-sifat mereka, semua terdata
dengan rapi di dalam database para ulama.
Kitab-kita
yang memuat data para perawi itu dikenal sebagai kitab rijalul hadits.
Kitab-kitab seperti ini barangkali kurang populer di kalangan awam. Bahkan
kalau anda cari di toko buku di Indonesia,
penjualnya pun akan kebingungan. Namun ketahuilah, bahwa semua data mereka
sudah tercatat dengan rapi.
Tinggal
para ulama hadits melakukan penelitian atas masing-masing hadits itu dengan
dilakukan penilaian pada para perawinya. Namun di dalam catatan mereka, tiap
hadits itu sudah terlacak dengan jelas peta penyebarannya, mulai dari mulut
Rasulullah SAW ke generasi pertama (shahabat), lalu ke generasi kedua (tabi'in),
lalu ke generasi ketiga (atba'ut-tabi'in), lalu ke generasi berikutnya
lagi. Tugas para ulama di masa itu tinggal melakukan dua sisi penilaian utama
dari masing-masing orang itu. Salah satu hadits itu adalah hadits berikut ini:
Rasululah
SAW bersabda,"Bila salah seorang dari kamu bangun dari tidurnya, maka
hendaklah dia mencuci tangannya, karena dia tidak tahu semalam tangannya berada
di mana”.
Di tangan para ulama sudah ada peta penyebaran hadits itu. Pada level pertama (tabaqah ula), hadits inidisampaikan oleh Rasulullah SAW kepada para shahaat. Tercatat ada 5 orang shahabat yang berbeda yang menyampaikan kembali hadits ini. Mereka adalah:
Di tangan para ulama sudah ada peta penyebaran hadits itu. Pada level pertama (tabaqah ula), hadits inidisampaikan oleh Rasulullah SAW kepada para shahaat. Tercatat ada 5 orang shahabat yang berbeda yang menyampaikan kembali hadits ini. Mereka adalah:
1.
Abu Hurairah ra
2.
Ibnu Umar ra
3.
Jabir bin Abdillah ra
4.
Aisyah ra
5.
Ali bin Abi Thalib ra
Kemudian,
masing-masing shahabat meriwayatkan kembali hadits yang pernah didengarnya
langsung dari Rasulullah SAW. Salah seorang dari shahabat itu, yaitu Abu
Hurairah ra kemudian meriwayatkan hadits ini kepada orang lain. Tercatat ada 13
orang pada level kedua yang mendapatkan hadits ini dari Abi Hurairah. Mereka
adalah para tabi`in.
Kemudian
hadits ini bisa dilacak lagi ke bawah, di mana kita bisa dengan mudah
mengetahui bahwa ke-13 orang ini lalu menyebar ke berbagai penjuru dunia. Dalam
database tercatat dari 13 orang itu ada 8 orang yang menerima hadits ini dan
tinggal di Madinah, ada satu orang tinggal di Kufah, ada 2 orang tinggal di
Bashrah, satu orang tinggal di Yaman dan seorang lagi tinggal di Syam.
Kemudian
ke 13 tabi`in ini lalu meriwayatkan lagi hadits itu kepada generasi berikutnya
(level ketiga), yang kita sebut sebagai atba`ut-tabi`in. Dan jumlah
mereka menjadi 16 orang. Detailnya adalah ada 6 orang tinggal di Madinah, 4
orang di Bashrah, 2 orang di Kufah, 1 orang di Makkah, 1 orang di Yaman, 1
orang di Khurasan dan 1 orang di Himsh Syam.
Maka amat
mustahil ke 16 orang yang domisilinya terpencar-pencar di beragam ujung dunia
itu pernah berkumpul bersama pada suatu saat untuk membuat hadits palsu bersama
yang redaksinya sama. Atau mustahil pula mereka masing-masing di rumahnya
membuat hadits lalu kebetulan semua bisa sama sampai pada tingkat redaksinya.
Padahal
ke 16 orang itu baru dari jalur Abu Hurairah saja. Apabila jumlah rawi itu
ditambah dengan yang dari ke 4 shahabat lainnya, maka jumlahnya akan menjadi
lebih banyak.
Pesan
Buat Para Pengingkar Hadits
Para pengingkar hadits dari kalangan muslimin sebenarnya perlu membuka mata untuk tahu dari manakah sebenarnya pemikiran keliru itu mereka lahap. Tidak lain dari para orientalis yang sejak awal sudah punya niat tidak baik terhadap Islam.
Para pengingkar hadits dari kalangan muslimin sebenarnya perlu membuka mata untuk tahu dari manakah sebenarnya pemikiran keliru itu mereka lahap. Tidak lain dari para orientalis yang sejak awal sudah punya niat tidak baik terhadap Islam.
Seharusnya
mereka perlu sedikit lebih mawas diri untuk belajar dan memperdalam ilmu agama
secara benar, agar tidak terlalu mudah terlena dengan bujuk rayu musuh Islam.
Sayangnya
kebanyakan mereka justru terlalu awam dengan ajaran Islam, ditambah terlalu
mudah terpesona dengan apa yang lahir dari mulut musuh-musuh Islam. Seolah-olah
barat itu sumber kebenaran satu-satunya.
Wassalamu
alaikum wrahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Ahmad Sarwat, Lc
Terima kasih kepada :
- Bapak Ustadz Ahmad Sarwat
- Eramuslim
Komentar
Posting Komentar